Hutan Hancur, Satwa Liar Turun Gunung

Teks Dewa Gumay ¦ Foto Mahdi Ismail

Konflik Satwa-Manusia, kini masif terjadi di hutan Aceh

“Konflik antara satwa dan manusia terjadi masif di pinggiran hutan Aceh, perebutan ruang adalah substansi latar belakang lahirnya konflik. Manusia perlu melihat kembali tata kelola dan ruangnya dengan rasional, jika tidak, catatan konflik akan terus bertambah. Manusialah yang harus berpikir, karena satwa tak mungkin bernegosiasi membatasi wilayah jelajahnya. Konflik satwa-manusia, laksana mengurai benang kusut, dari persoalan habitat satwa yang mulai sempit hingga dana penanggulangan yang minim, semuanya terjalin kelindan dengan urusan kewenangan pengelolaan konservasi antara pusat dan daerah. Kandasnya, ada persoalan laten menyelusup di balik konflik satwa liar.”

HUTAN Aceh kembali mendapatkan lakap sebagai hutan kritis, lakap yang begitu satir sekaligus terdengar absurd. Pasalnya, lakap sebagai hutan kritis bukan karena banjir yang kian karib menimpa masyarakat hilir sungai, atau karena Gajah dan Harimau menyeruak masuk keperkampungan penduduk, merusak kebun dan rumah. Lakap sebagai hutan kritis justru muncul ketika pro dan kontra pemindahan lima harimau asal Aceh ke Lampung.

Lakap hutan Aceh kritis, awalnya dimunculkan Menteri Kehutanan, M.S Kaban, akhir Juli lalu, terkait pemindahan lima harimau dan buaya asal Aceh ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Lampung.

“Hutan Aceh telah kritis, sehingga muncul berbagai konflik satwa,” ujar Kaban, memberikan pernyataan saat pelepasan harimau asal Aceh di TNBBS. Langkah Dephut memindahkan satwa asal Aceh ini menimbulkan sikap pro dan kontra, bahkan Gubernur Pemerintah Aceh, Irwandi Yusuf, mendesak Dephut untuk mengambalikan satwa tersebut ke Aceh.

Fauzan Azima, Kepala BP-KEL pun angkat bicara dalam siaran persnya 3 Juli 2008, menurutnya, pernyataan Dephut yang menyebutkan bahwa habitat Harimau Sumatra di Aceh telah rusak, merupakan pernyataan mengada-ngada. Hutan Aceh masih sangat layak untuk populasi 2.000 ekor harimau.

Aceh masih memiliki tutupan hutan yang cukup baik di wilayah kawasan Ekosistem Leuser dan Ulu Masen, dibandingkan provinsi lain, kecuali hutan Papua, hutan Aceh jauh lebih baik. “Hampir 70 persen daratan Aceh ditutupi hutan,” tulis Azima.

Satu bulan setelah kasus tersebut, lakap hutan kritis dan pro-kontra terkait pemindahan satwa asal Aceh ke TNBBS pun menguap. Pada lupa kita kian karib, penggalan catatan pinggir Goenawan Mohammad tersebut adalah kesimpulan dari penanganan konflik satwa-manusia di Aceh. Keterbatasan dana penanganan konflik satwa kerap dituding sebagai biang keladi tidak tuntasnya kasus-kasus tersebut.

Andi Basrul, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, kerap mengeluhkan minimnya dana taktis penanganan konflik satwa liar. Pada kasus pemindahan lima harimau ke TNBBS, persoalan pakan menjadi alasan pemindahan. Menurut Andi, setelah delapan bulan dipelihara dengan bantuan pakan dari Fauna & Flora International (FFI) Program Aceh dan Yayasan Leuser International, pihaknya mengalami kesulitan untuk menyediakan pakan dibulan berikutnya, karena FFI dan YLI tidak meneruskan bantuannya.

Tetapi, Irwandi membantah pernyataan Kaban, menurutnya hutan Aceh masih sangat layak untuk habitat satwa liar dibanding provinsi lain di Indonesia. Hutan Ulu Masen dan Leuser termasuk kedalam hutan tropis dengan tutupan sangat baik, buktinya, lanjut Irwandi, pada bulan Maret lalu, satu harimau yang ditangkap di Aceh Selatan berhasil dilepaskan di kawasan hutan Ulu Masen. Alasan ini pulalah menyebabkan Irwandi berang, dan meminta Dephut mengembalikan lima harimau tersebut ke Aceh.

Menelusuri Jejak Konflik

Konflik antara satwa dan manusia bukanlah hal baru di Aceh, penelusuran Ulu Masen menemukan rekam jejak konflik antara satwa dan manusia telah terjadi pada tahun 1981. Menurut catatan Direktorat Perlindungan Hutan, gangguan gajah liar di awal tahun 1981 telah merusak tanaman budidaya di Desa Uram Jalan, Kabupaten Aceh Utara.

Konflik ini terus meningkat pada tahun 2007 lalu, menurut catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, 12 orang tewas dan 11 orang lainnya mengalami luka-luka, ini merupakan angka korban tertinggi dalam kasus konflik satwa. Jenis satwa liar yang berkonflik dengan manusia antara lain, Gajah Sumatra, Harimau Sumatra, Beruang madu, Buaya Muara, dan Ular Sanca.

Konflik satwa dan manusia, ibarat mengurai jalinan benang kusut. Sangat rumit, berjalin dengan kepentingan, banyak faktor yang mempengaruhinya, keterbatasan anggaran, sempitnya wilayah jelalah satwa, bertambahnya populasi penduduk, serta konversi lahan secara terus-menerus, hingga perburuan liar untuk perdagangan satwa. Semua jalinan tersebut, penyelesaiannya tak semudah membalik telapak tangan. Berbagai kebijakan, mulai dari ratifikasi internasional hingga kebijakan setingkat Undang-Undang telah dikeluarkan, hasilnya, hanya mengurangi catatan kasus.

Menurut Andi Basrul, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Ada tiga akar masalah yang menyebabkan terjadinya gangguan satwa liar. Pertama, penurunan luas kawasan hutan secara drastis, kedua, pemanfaataan hasil hutan kayu secara berlebihan, ketiga, pembukaan akses terhadap kawasan hutan yang tinggi.

Berdasarkan proyeksi citra lansat Badan Planologi menunjukkan, dalam kurun waktu sembilan tahun, hutan Aceh mengalami pengurangan luas sebesar 500 ribu hektar, atau setara dengan 13,84 persen dari total luas 3.611.953 hektar. Pengurangan luas ini terjadi sejak tahun 1994 hingga 2003.

Sementara, Greenomics memperkirakan deforestasi dan degradasi di kawasan hutan Aceh selama tahun 2002 hingga 2004 mencapai angka 200 ribu hektar, dimana 60 persen-nya terjadi di kawasan konservasi dan hutan lindung.

Penurunan luas kawasan hutan, sebagian besar disebabkan konversi hutan untuk kebutuhan pemukiman, lahan pertanian, perkebunan, dan industri. Penyebab lainnya adalah aktivitas illegal logging, dan kebakaran hutan.

Menurut Robert Sillevis, Direktur FFI Aceh, menurunnya luas kawasan hutan akan berpengaruh langsung terhadap menyempitnya habitat satwa liar, kondisi tersebut mendorong satwa menggeser atau merubah wilayah jelajahnya.

Lebih lanjut Sillevis menjelaskan, beberapa satwa liar memiliki wilayah jelajah yang cenderung stabil, seperti Gajah. Pada saat manusia memanfaatkan atau merubah tutupan hutan yang merupakan wilayah jelajah satwa, maka peluang terjadinya konflik antara satwa liar dengan manusia yang menggarap lahan tersebut menjadi besar.

Perburuan satwa liar secara berlebihan dan illegal dapat mengakibatkan perubahan siklus rantai makanan satwa liar. Kondisi ini mendorong satwa liar untuk mencari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan makannya.

Perburuan yang berlebihan terhadap babi hutan, kijang dan rusa mendorong satwa, seperti Harimau mencari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan pakannya, dengan masuk ke daerah peternakan dan pemukiman. Disinilah dimulai konflik antara satwa dan manusia.

Intensitas konflik satwa liar yang terus meningkat, kian menjadi persoalan ketika penanganan-nya tidak dilakukan dengan koordinasi yang baik. Sumber Antara di Banda Aceh, 26 Juli 2008 menyebutkan, Prof. Dr. Ir. Yuswar Yunus MP, pakar konservasi hutan Universitas Syiah Kuala, mengingatkan pihak BKSDA Aceh agar tidak arogan dalam penanganan satwa langka.

“Selama ini, saya melihat penanganan hewan langka yang dilakukan BKSDA Aceh terkesan sangat arogan, termasuk kasus harimau sumatra asal Aceh Selatan yang diduga telah memangsa manusia dipindah ke Lampung beberapa waktu lalu,” tegas Yuswar.

Reaksi serupa juga muncul dari Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Fauzan Azima, menurutnya tindakan Dephut, tidak menghargai usaha Pemerintah Aceh untuk mengupayakan konservasi yang baik di Aceh.

Mengurai jalinan benang kusut konflik satwa-manusia, mungkin tidak se-satir pribahasa, tidak ada yang absurd. Syaratnya, penyelesaian harus dilakukan secara holistik di bawah koordinasi yang jelas. Jika itu belum ada, lakap sebagai hutan kritis, akan terus diterima hutan Aceh. Seperti pernyataan Menhut pada suatu pagi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. []

2 responses to “Hutan Hancur, Satwa Liar Turun Gunung

  1. Salam Rimba

    Mohon maaf sebelumnya saya kutip sedikit tulisan dari sang penulis Dewa Gumay…!!!

    “Konflik antara satwa dan manusia terjadi masif di pinggiran hutan Aceh, perebutan ruang adalah substansi latar belakang lahirnya konflik. Manusia perlu melihat kembali tata kelola dan ruangnya dengan rasional, jika tidak, catatan konflik akan terus bertambah. Manusialah yang harus berpikir, karena satwa tak mungkin bernegosiasi membatasi wilayah jelajahnya. Konflik satwa-manusia, laksana mengurai benang kusut, dari persoalan habitat satwa yang mulai sempit hingga dana penanggulangan yang minim, semuanya terjalin kelindan dengan urusan kewenangan pengelolaan konservasi antara pusat dan daerah. Kandasnya, ada persoalan laten menyelusup di balik konflik satwa liar.”

    Nah dari kutipan di atas,mungkin bukan hanya satwa yang seperti di gambar di atas saja(gajah/pomurah) yang akan terancam,tapi termasuk satwa liar lainnya.
    Mungkin bukan di zaman ini saja,manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang sempurna mempunyai hobi memilihara hewan piaraan baik sebagai hewan ternak maupun hobi seperti kucing,anjing,kelinci,ayam,itik,dan,burung dan sebagainya.
    Nah kita sering mendengar maskotnya NAD adalah “cempala kuneng” (copcychus pyrropygus),mungkin nama ini cuma tinggal nama atau kalaupun ada tapi entah dimana rimbanya.seiring pembangunan yang terkadang tanpa di sertai blue print,dan perambahan hutan besar besaran dan juga penangkapan satwa liar secara massal membuat hutan kita semakin langka akan satwa yang bisanya lazim terdengar di telinga kita khususnya satwa jenis burung (unggas) dalam hal ini.
    Saya sedikit ingin membahas mengenai satwa burung yang saat ini sangat bebas penangkapannya.
    jenis cucak rawa(berijuk bale/Pycnonotus zeylanicus) ,murai batu(cempala rimueng/Copsychus malabaricus) dan masih banyak lagi satwa burung lainnya yang di tangkap secara massal hanya untuk kenpentingan prestisitas segelintir orang kaya saja tanpa menghiraukan bagaimana cara menangkarkannya kembali.
    Nah sebagai manusia yang bijak dalam bersikap seharusnya pihak berwajib juga bisa meminimalisirkan keadaan ini,jangan ikut ikutan menadah satwa liar dan di perdagangkan antar pulau bahkan negara tanpa memperhitungkan keuntungan secara financial apalagi moral.
    Saya rasa cukup generasi kita saja yang cuma mendengar cempala kuneng tanpa melihat dan mengetahui jenis burung itu bagaimana?! Semoga di kemudian hari generasi selanjutnya masih bisa melihat dan mendengar bagaimana satwa burung yang di lindungi oleh undang undang itu bukan hanya dari gambar saja…!!!!

    salam

    Benas

  2. Ping-balik: Suaka Gajah; Salah Satu Opsi Mitigasi Konflik | Sumber Daya Alam Aceh

Tinggalkan komentar