Potret Kehidupan Penarik Kayu Illegal

Oleh Dewa Gumay

Profesi sebagai penarik kayu Illegal atau buruh angkut kian marak di hutan Aceh

LAKI-LAKI kekar setengah baya, dan seekor kerbau penarik kayu, berjalan pelan menyusuri jalan setapak. Siang itu, beban seberat dua ratus dim ditarik sang kerbau menuju sebuah Desa di pedalaman Aceh. Satu meter kubik setara dengan seribu dim.

Mereka telah berjalan kurang lebih delapan kilometer dari hutan alam tempat kayu ditebang. Setiap kali kerbau berhenti, pahanya selalu menjadi sasaran pukulan laki-laki kekar itu. Menarik kayu setiap harinya merupakan kewajiban, jika tidak, keluarganya akan kelaparan.

Keringat sebesar bulir jagung membanjiri tubuhnya, sesekali tangannya yang kasar menyapu keringat di mukanya. Siang itu, tugasnya telah selesai, menarik kayu hasil tebangan ke tempat penampungan akhir milik seorang touke kayu.

Pekerjaan sebagai penarik kayu atau Tarek Nok telah dilakoninya hampir sepuluh tahun, sejak pindah dari Banda Aceh. Pekerjaan menarik kayu hanya membutuhkan tenaga, tanpa mengeluarkan modal sepeserpun. Kayu yang ditarik biasanya milik touke atau cukong kayu, sedangkan kerbau penariknya juga di sewa dari cukong kayu tersebut.

Jenis kayu Bran atau Meranti merupakan jenis kayu yang kerap dibawanya, dengan berbagai ukuran. Kayu tersebut telah diolah di tempat penebangan. Mulai dari ukuran enam dikali empat belas centimeter hingga ukuran dua setengah dikali dua puluh lima centimeter. Harga jual kayu tersebut bisa mencapai satu juta tiga ratus ribu rupiah, jika dipasarkan oleh sang touke.

Berapa rupiah yang didapat penarik kayu? Menarik Kayu dengan jumlah dua ratus dim, biasanya diupah seratus lima ribu rupiah. Upah tersebut kemudian di bagi dua, untuk membayar sewa kerbau, sisanya, lima puluh dua ribu lima ratus. Uang tersebut dipotong lagi sebesar sepuluh ribu rupiah untuk membayar pemotong rumput yang memberi makan kerbau.

Empat puluh dua ribu lima ratus rupiah, ditambah biaya makan dan rokok, sisanya dibawa pulang untuk menghidupi tiga orang anak dan istrinya. Jika dijumlahkan, penghasilan laki-laki itu sekitar empat ratus ribu rupiah per bulannya.

Saat bulan Rhamadan, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha tiba, penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jalan keluarnya, meminjam uang pada touke kayu. Pinjaman inilah kelak menjadi pengikat antara touke dan sang penarik kayu, selama pinjaman belum lunas, penarik kayu tidak pernah berhenti menarik kayu sang cukong.

Keinginannya untuk berhenti sebagai penarik kayu, untuk menjadi petani, hanyalah impian. Selain tidak mempunyai lahan, pinjamannya pada sang cukong kian hari bertambah banyak.

Cerita penarik kayu illegal ini, merupakan potret jamak yang terjadi pada masyarakat pinggiran hutan Aceh. Potret kemiskinan dan jeratan cukong kayu illegal, berbanding lurus dengan potret kehancuran hutan Aceh. []

2 responses to “Potret Kehidupan Penarik Kayu Illegal

  1. Kisah yang menarik…

    Pekerjaan mereka hanya memperkaya para cukong ya…coba klo mereka diberi sinsau atau modal, bisa kaya mereka..

    Eitss..mendingan jangan deh. Entar makin repot nyelamatin hutan..hihihi…

    Keep writing..

    saleum

  2. Kalau mereka di kasih Chainsaw dan Modal,
    mereka akan jadi Cukong juga,
    terus nyuruh orang lagi untuk tarik kayu.

    Putaran-nya, seperti lingkaran Setan …

Tinggalkan komentar