Illegal Logging, Persoalan Global

Pembalakan haram atau lebih dikenal dengan istilah illegal logging merupakan aktifitas yang terjadi pada saat penebangan kayu dilakukan secara tidak sah dengan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang -undangan, berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan negara atau hutan hak (milik), dan atau pemegang izin melakukan penebangan lebih jauh dari jatah yang telah ditetapkan sesuai perizinan.

Modus yang biasa digunakan dalam tindak illegal logging menurut Obidzinki terdiri dari; operasi pembalakan diluar petak tebangan, perusahaan penebangan kayu yang tidak mempunyai izin tetapi tetap melakukan pembalakan kayu, menggunakan izin IPK (izin pemanfaatan kayu) untuk melakukan tebang habis dengan dalih untuk membuka perkebunan, kayu bulat dan kayu gergajian yang tidak dilaporkan dengan menggunakan dokumen pengapalan yang berbeda, pembalakan dan usaha perkayuan lain yang beroperasi tetapi menghindari pajak dan pungutan-pungutan sah, dan terakhir operasi skala kecil yang tidak memiliki izin pembalakan. Aktifitas illegal ini ditengarai sama tuanya dengan praktik pengusahaan hutan itu sendiri.

Rekonstruksi dan Pasar Kayu International

Ada empat faktor yang menyuburkan praktek illegal logging di Aceh, faktor ekonomi masyarakat, proses rekonstruksi, permintaan dari pasar kayu international, dan kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan bahan baku bagi industri kehutanan nasional. Faktor terakhir ini jika dikaitkan dalam konteks mikro Aceh tidaklah terlalu berpengaruh besar, hal ini dimungkinkan dengan pemberlakuan kebijakan jeda tebang (moratorium logging) dan kebutuhan industri hilir kehutanan yang relatif kecil, tetapi jika kemudian ditarik dalam konteks makro secara lebih besar diluar kebutuhan industri hilir kehutanan Aceh, sangat dimungkinkan bahwa hutan Aceh dibabat untuk memenuhi industri hilir kehutanan diluar Aceh secara illegal. Laporan NRM, MFP, Bappenas, dan FFWG pada tahun 2004 menunjukkan bahwa untuk pemenuhan 53 juta meter kubik kayu untuk kebutuhan industri kehutanan di Indonesia, 68 persen-nya berasal dari tebangan liar atau sekitar 36 juta meter kubik.

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, boleh saja berdalih bahwa kebutuhan kayu rekonstruksi bisa diatasi dengan pemenuhan kayu import dan kayu yang berasal dari kebun, atau dengan dalih mengontrol setiap pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi sebisa -mungkn tidak menggunakan kayu illegal. Terlepas dari kebenaran dalih tersebut, kasus illegal logging di Aceh tetap merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan kayu rekonstruksi, asumsi pertama, dengan banyak-nya pelaku rekonstruksi di Aceh, sangat tidak mungkin BRR Aceh-Nias mampu mengontrol setiap penggunaan kayu yang digunakan, kedua, pada masa rekonstruksi tidak ada pemegang konsesi pengusahaan hutan (HPH dan IPK) yang beroperasi dan, ketiga, pada pertengahan tahun 2007 Aceh telah memberlakukan kebijakan jeda tebang diseluruh hutan Aceh.

Timber for analysist UNDP 2006, memperlihatkan bahwa terjadi kesenjangan (shortfall) sebesar 135.249 meter kubik per tahun-nya antara permintaan (demand) dan ketersediaan (supply) kayu untuk kebutuhan proses rekonstruksi sebesar 215.249 meter kubik per tahun-nya, atau dengan kata lain ketersediaan kayu yang ada hanya sekitar 80.000 meter kubik per tahun-nya. Kebutuhan kayu selama proses rekonstruksi diperkirakan mencapai 860.996 meter kubik, pertanyaannya ? darimana kebutuhan kayu rekonstruksi dipenuhi, sementara sektor kehutanan Aceh berada pada posisi jeda tebang ?. Sementara pemenuhan kayu import hanya menyumbang sekitar 48.136 meter kubik, dan kayu yang berasal dari SKSHH (surat keterangan sahnya hasil hutan) hanya menyumbang sekitar 19.686 meter kubik pada tahun 2006 (Timber for Aceh, 2006).

Selain faktor diatas, pemenuhan kebutuhan pasar kayu international merupakan faktor yang cukup significant menyuburkan illegal logging. Penyelundupan kayu dari Indonesia sebagian besar masuk ke negara-negara di Asia dan Eropa. Uni Eropa merupakan salah satu penerima utama kayu liar, namun telah gagal menerapkan kebijakan untuk menghentikannya. Tahun 1999, Uni Eropa mengimpor 10 juta meter kubik kayu dimana nyaris setengahnya berasal dari tiga negara – Indonesia, Brazil, dan Kamerun (Timber Traficking, TELAPAK/EIA, 2001). Tingginya tingkat penebangan liar di tiga negara tersebut, disinyalir setengah dari kayu yang diimpor ke Uni Eropa merupakan kayu liar, senilai US$ 1,5 miliar per tahun.

Dari negara anggota Uni Eropa, Inggris merupakan pengimpor kayu liar terbesar, tahun 1999 inggris mengimpor 1,6 juta meter kubik kayu, dimana 92 persennya berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Brazil. 60 persen kayu yang diimpor ke Inggris merupakan kayu liar senilai US$ 200 juta. Negara Inggris sendiri bertanggung jawab atas seperlima kayu tropis liar yang memasuki Uni Eropa (Timber Traficking, TELAPAK/EIA, 2001).

Negara berikutnya yang terlibat impor kayu illegal adalah Perancis, dimana setengah dari 900 ribu meter kubik impor tahunannya merupakan kayu liar, disusul Belgia, Jerman, dan Belanda. Perilaku konsumsi kayu Uni Eropa yang tidak mengindahkan asal-usul kayunya membuat mereka secara langsung bertanggung jawab atas kerusakan hutan di negara-negara tropis, terutama Indonesia. Konsumsi kayu tropis mereka setara dengan penebangan hutan seluas 700 ribu hektar setiap tahunnya.

Masuknya peredaran kayu illegal di Uni Eropa ini dapat dilihat dari laporan pemerintah Indonesia mengenai ekspor produk kayu yang dilakukan secara resmi, dimana terjadi ketidak sesuaian atau selisih antara kayu yang di kirim oleh Pemerintah Indonesia dengan kayu yang diterima oleh negara-negara Uni Eropa, proses ini dilakukan dengan cara mencuci kayu (timber laundry) disejumlah negara transit. Pasokan kayu tersebut tercatat pada daftar impor negara-negara konsumsi kayu namun tidak terlaporkan dalam data ekspor kayu di Indonesia.

Mengejutkan ketika melihat angka –angka pencatatan ekspor kayu Indonesia, terjadi perbedaan data 100 persen antara laporan volume ekspor dengan yang tercatat pada negara tujuan. Sebagai contoh, pada laporan ekspor kayu log Departemen Kehutanan, Indonesia mengekspor 4.500 meter kubik kayu log ke Australia, tetapi yang tercatat kenegara tujuan mencapai 32.000 meter kubik, artinya terjadi perbedaan hampir 86 persen, yang lebih mengejutkan justru terjadi pada Malaysia, Indonesia mencatatkan nol meter kubik ekspor kayu log kenegara ini, tetapi yang tercatat di Malaysia justru sejumlah 623 ribu meter kubik, kasus serupa hampir serupa terjadi pada ekspor kayu log Indonesia ke negara –negara Uni Eropa (Siaran Pers Dephut, Agustus 2005. “Penyelundupan Kayu dari Indonesia sangat memprihatinkan”).

Illegal Logging adalah Persoalan Global

Illegal logging adalah persoalan global, karena terjadinya juga lintas negara dan pengaruh kebutuhan pasar kayu global, permintaan kebutuhan kayu oleh pasar kayu international, menjadikan negara yang memiliki tutupan hutan termasuk Indonesia, Amerika Latin, dan Afrika harus kehilangan tutupan hutannya akibat praktek illegal yang dipengaruhi oleh kebutuhan pasar kayu international.

Persoalan –persoalan global ini kemudian ditegaskan kembali oleh Antoni Gidden dalam teori sosial perubahan lingkungan, bahwa krisis lingkungan secara global merupakan buah dari modernisasi, dimana perubahan disuatu tempat, perubahan komoditas, perubahan teknologi akan mempengaruhi tempat-tempat lainnya. Krisis lingkungan global ini yang kemudian melahirkan perubahan iklim, klimaks dari tingginya gas emisi buang dan deforestrasi akibat pola eksploitatif manusia.

Krisis lingkungan global telah muncul sejak 1960-an, tetapi kurang mendapat perhatian publik, baru sekitar tahun 1980-an dan 1990-an mendapatkan perhatian publik ketika momentum biodiversitas loss, pemanasan global, kerusakan lapisan ozon, mulai dirasakan oleh penduduk bumi. Hal yang mendasar dari krisis lingkungan global yang berdampak terhadap perubahan iklim, secara filosofis menggambarkan; kesadaran bahwa hidup saling bergantung dan sesungguhnya kita hidup pada perahu yang sama dibumi, karena semua manusia berada dalam satu perahu yang sama, maka ancaman krisis lingkungan global akan terkena pada semua manusia, atau kesalahan kolektif bagi manusia yang sadar tapi tidak bertindak bersama. Sehingga perubahan iklim atau lingkungan global menurut Gidden, merupakan persoalan lintas negara, ekonomi, dan politik global.

Jika demikian, persoalan illegal logging hari ini di Aceh dan belahan dunia lainnya, menuntut sebuah penyelesaian secara global melalui mekanisme –mekanisme yang adil dan mulai merubah pola pembangunan yang konsumtif, tidak hanya di Indonesia, perubahan ini harus dilakukan secara global dan bersama –sama oleh seluruh masyarakat dunia, jika tidak ibarat sebuah ekosistem Sungai, menjaga hutan dihilir tapi dihulunya marak terjadi penebangan, maka tetap saja terjadi banjir dihilir, begitulah jika menyangkut persoalan global. []

* Artikel ini pernah dimuat dalam Laporan Utama Majalah Aceh Magazine “Nasib Hutan Kita” Edisi November 2007.

9 responses to “Illegal Logging, Persoalan Global

  1. kata Cek Mat:
    Frase “Illegal Logging” tidak ditemukan dalam UU Kehutanan.
    Yang ada pencurian kayu.
    Illegal logger berarti tidak bisa disamakan dengan “Maling Kayu”?

  2. Karena itulah aku tak pernah bersepakat dengan Cek Mat, hehehe ….

    Ya … jika kemudian harus berpadan dengan UU Kehutanan jelas tak mungkin ditemukan, Illegal Logging frase yang diadopsi dari istilah project yang dibuat oleh International Fund terutama sektor kehutanan, sedangkan UU Kehutanan product hukum Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia. jadi tak mungkin ditemukan frase “Illegal Logging”.

    dan, frase Illegal Logging belum dimasukkan atau diadopsi sebagai bahasa Indonesia, tetapi dalam penggunaannya untuk istilah pencuri kayu, jamak dipahami bahwa Illegal Logging adalah pencuri kayu, dan pembaca cukup paham dengan istilah ini.

    Cek Mat … memang lihai bersilat dibawah lidah, apalagi goyang lidah …

  3. Hehehe…

    Kalo aku masih sepakat dengan Cekmat, ketimbang dengan Internasional Fan 🙂

  4. nah … kalau soal International Fund, aku juga kurang sepakat, tapi kalau pilihannya berbanding Cek Mat, mungkin harus dipikirkan ulang …. hehehe.

    soalnya, Cek Mat tidak pernah ngasih kayu bakar dapur-ku, hahaha ….

  5. Nggak habis pikir, bagaimana negara2 yang dengan getol menyuarakan anti pembalakan liar namun mengkonsumsi sebagian besar hasilnya tanpa mampu membuat kebijakan untuk menghentikannya.
    Tak pikir itu cuman ada di endonesa saja…. basa suroboyo-nya “solu-solu” alias “awu-awu” alias “kaspo” alias tipu-tipu

  6. rekan,

    menurut saya, sejak dimulainya revolusi industri, aksi tipu-tipu telah ada, hanya saja wujudnya mulai telanjang sejak pertemuan di Bretton Woods, As.

    pertemuan Bretton Woods pada intinya membicarakan tata ekonomi dunia baru pasca perang dunia II, dan merekomendasikan lahirnya World Bank dan IMF.

    silahkan lihat juga link ini https://dewagumay.wordpress.com/2007/10/23/perusakan-lingkungan-dan-krisis-sumber-daya-alam/

  7. Ah illegal loging tu cuma sebagian dari hal2 yang buat indonesia maken terpuruk!

    skarang bisa d bilang indonesia telah PIAN SUI.

    dan para pejabat nya malah semaken AHPUI.

  8. keruakan hutan di indonesia sama seperti film2 misteri.
    tidak pernah ada penyelesaian. sudah banyak upaya yang dilakukan namun tidak ada yang serius. hutan di Indonesia semakin langka dari tahun ke tahun namun lucunya, departemen kehutanan malah menegluarkan sk pelepasan kawasan TN menjadi HP supaya bisa dijadikan lahan perputaran uang dengan cara cepat.

  9. Yohana,

    terkadang, hampir segenap orang sudah apatis terhadap penyelesaian kasus-kasus kehutanan di Indonesia.

    Semakin di proteksi suatu kawasan hutan, semakin hancur saja tutupan hutan tersebut. Berbagai perangkat hukum telah di keluarkan oleh Pemerintah, tetapi tetap saja kerusakan hutan terjadi.

    dimana celahnya? rantai proses penegakan hukum kita jelas belum berpihak dan pelaku penegak hukum belum sadar terhadap dampak kerusakan lingkungan.

    Market kayu, demand terhadap kayu yang terus meningkat, terutama pada wilayah yang terdapat pabrik kertas, salah satu penyebab maraknya illegal logging.

    demikian.

Tinggalkan Balasan ke J Batalkan balasan