Mukim: Berjuang Untuk Sebuah Legitimasi

Oleh: Dewa Gumay

Setelah diakui keberadaanya oleh Undang-Undang otonomi khusus, Pemerintahan Mukim kembali diakui secara de jure dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Secara de facto, keberadaan mukim masih cukup eksis dan diakui di seluruh Nanggroe Aceh, sekalipun antara warga masyarakat Aceh terdapat beragam suku dan kultur. Masalahnya, eksistensi mukim ini sekarang di Aceh bukanlah sebagai lembaga pemerintah. Mukim hanya lembaga adat yang tak punya kuasa memerintah. Sekian lama mukim hanya menjadi simbol adat, dan dipentingkan ketika ada upacara-upacara adat belaka. Misalnya, kahuri blang, kahuri laoet, dan kahuri-kahuri lainnya. Fakta seperti ini tentu sangat berbeda dengan eksistensi mukim pada masa kesultanan Aceh tempoe doeloe, hingga awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebetulnya, bukan hanya Pemerintahan Mukim di Aceh yang mengalami staknasi, Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat dan Pemerintahan Marga di Sumatera Selatan merupakan salah satu dari sekian banyak Pemerintahan adat yang tidak berfungsi dengan keluarnya Undang-Undang Pemerintahan Desa. Wacana maupun tindakan kongkriet untuk mengembalikan keberadaan mukim di Aceh telah dirintis, mulai dari Undang-Undang otonomi khusus hingga Undang-Undang Pemerintahan Aceh, tetapi tetap saja tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengubah kondisi yang telah berlangsung puluhan tahun.

Tempo doeloe, keberadaan mukim tidak saja mendapat pengakuan sosio-antropologis masyarakatnya, bahkan mendapat dukungan juridis politis dan legitimasi dari pemegang kekuasaan pada masa itu. Sejarah mencatat bahwa lembaga mukim tersebut terbentuk seiring dengan masuknya agama Islam ke Aceh. Mukim merupakan sistem pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh Imum Mukim. Imum Mukim dipilih secara langsung oleh tokoh-tokoh dalam kemukiman tersebut, yang terhimpun dalam tuha lapan. Karenanya, ia tidak tunduk pada kekuasaan di atasnya.

Mukim mempunyai harta kekayaan serta sumber keuangan sendiri dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imum Mukim tetap diakui. Bahkan diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur General van Nederland Indie Nomor 8 Tahun 1937. Masa penjajahan Jepang, pemerintahan oleh Imum Mukim pun tetap diakui berdasarkan Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944. Setelah Indonesia Merdeka ketentuan-ketentuan tentang pemerintahan mukim tetap diberlakukan, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

Untuk mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan desa, Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun 1946, yang menurut kedua peraturan tersebut, Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulhee Balang, karena lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan tersebut, sehingga. Mukim berada di bawah camat dan membawahi beberapa gampong.

Pemerintahan Mukim dilaksanakan oleh tiga unsur. Pertama, unsur adat yang diwakili oleh imum mukim. Kedua, unsur agama yang diwakili oleh imeum masjid, ketiga, unsur dewan yang diwakili oleh tuha lapan. Meskipun ketiga unsur itu dipilah kewenangannya, namun dalam pengambilan keputusan diperlukan adanya persetujuan bersama. Pelaksanaan putusan dipresentasikan oleh imum mukim, sehingga putusan yang diambil merupakan keputusan yang kuat karena merupakan keputusan semua unsur pimpinan yang mewakili masyarakat. Sebab itu pula dapat diperkirakan didukung oleh semua unsur yang ada dalam masyarakat.

Seurikat Mukim Aceh Jaya

Tempo doeloe adalah sejarah, sejarah tentang kebesaran dan pengakuan segenap orang terhadap kedudukan Mukim. Sekarang adalah hari ini dimana Mukim tidak memiliki dukungan juridis politis serta legitimasi dari pemegang kekuasaan, secara de facto Mukim tetaplah sebuah lembaga adat tanpa Power untuk mengeksekusi. Untuk itu diperlukan kerja keras bagi para Mukim itu sendiri untuk mengembalikan harkat dan martabatnya seperti tempo doeloe, bukan hanya sekedar catatan sejarah yang digores tinta emas.

Apa yang harus dilakukan ? Apa saja prasyaratnya ? Mari kita tinggalkan sejarah dan tinta emas, kita arahkan pandangan kita sedikit ke sebuah Kabupaten yang terletak di pantai barat, Kabupaten Aceh Jaya. Mari kita sedikit belajar dari apa yang telah dilakukan para Imum Mukin di Kabupaten ini, berjuang untuk mendapatkan harkat dan martabatnya kembali. Berjuang tidak ber-arti berkonotasi “negatif”, berjuang adalah upaya untuk mendapatkan sesuatu yang dulu pernah ada, sebuah pengakuan atau legitimasi. Legitimasi ini perlu untuk direbut kembali, karena secara hukum (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) mengatur soal legitimasi Mukim, persoalannya legitimasi ini belum diberikan secara mutlak. Ini tidak salah, karena Undang-Undang yang memandatkan demikian.

Dua tahun lalu, tepatnya 7 Agustus 2005 Miladiah bertepatan dengan 2 Rajab 1426 Hijriyah, Organisasi yang diberi nama Seurikat Mukim Aceh Jaya didirikan, tujuannya adalah untuk meningkatkan martabat dan harkat mukim serta memaksimalkan peran dan fungsi mukim dalam tatanan pemerintahan dan pengelolaan sumber daya alam. Apa yang melatarbelakangi pendirian Seurikat Mukim Aceh Jaya ini ?. Menurut Anwar Ibrahim Imum Mukim Rigaih, Seurikat Mukim Aceh Jaya didirikan sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi, membuat konsep atau acuan kepada Bupati atau pihak lain, memudahkan perencanaan mukim dan membangun hubungan dengan instansi lain, menguatkan lembaga adat yang ada di Aceh Jaya, dan membantu memudahkan urusan-urusan dengan masyarakat.

“Lebih dari itu, Seurikat Mukim Aceh Jaya didirikan untuk mengangkat harkat dan martabat mukim yang berada di Kabupaten Aceh Jaya,” tegas Anwar Ibrahim. Menurut pengurus Seurikat Imum Mukim Aceh Jaya ini, banyak hal yang harus diperbaiki dan diperjuangkan, untuk mengangkat harkat dan martabat para Imum Mukim kembali seperti tempo doeloe, dan itu pekerjaan yang sangat besar dan mulia.

Waktu terus berjalan, pengakuan itu harus direbut bukan hanya sekedar berbicara dan berwacana tentang masa lalu, prinsip ini sangat kuat dan teguh dipegang oleh para Imum Mukin di Aceh Jaya. Sampai hari ini banyak hal yang telah dilakukan oleh Seurikat Mukim Aceh Jaya, mulai dari meng-inisiasi penyusunan Tata Ruang Aceh Jaya dengan melibatkan masyarakat gampong, bernegosiasi tentang keberadaan HPH yang ada di Aceh Jaya, dan terlibat aktif dalam upaya pelestarian lingkungan hidup khususnya di Aceh Jaya.
Secara organisasi, Seurikat Mukim sedang melakukan upaya pembenahan organisasi kedalam dan terus terlibat aktif memberikan masukan-masukan kepada Pemerintah, Seurikat Mukim adalah partner bagi semua pihak yang akan memberikan masuka-masukan konstruktif. Walaupun masih seumur jagung, organisasi ini adalah embrio yang akan mengkonsolidasikan kekuatan Mukim di Kabupaten Aceh Jaya.

Jika demikian, beranikah kita bermimpi tentang kejayaan Pemerintahan Mukim seperti tempo doeloe, sebagaimana yang telah dituliskan oleh tinta emas sejarah kedaulatan Mukim ?. Jawabannya ya, dengan catatan bahwa Mukim tetap harus berjuang tanpa akhir untuk merebut harkat dan martabatnya. Jika tidak, sampai ratusan kali Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Mukim dibuat oleh Pemerintah, ratusan kali pula legitimasi itu tak akan pernah sampai kepada tangan-tangan Imum Mukim. Sementara sejarah, tetap saja terus mencatat. (*) dwg/FFI AP

* Tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah ULU MASEN terbitan Fauna & Flora International Aceh Programme, Edisi Agustus 2007
* Judul Tulisan ini telah diubah dari aslinya, “Berjuang Tanpa Akhir Untuk Harkat dan Martabat”

8 responses to “Mukim: Berjuang Untuk Sebuah Legitimasi

  1. Aku masih bingung, apakah yang diperjuangkan adalah kewenangan seperti kewenangan kecamatan atau apa? Sebenarnya pada jaman dahulu kalam kewenangan Mukim itu kongkritnya seperti apa?

  2. keturunan gumay?
    bgmn dgn kewenangan pesirah?

  3. Bahagia Ishak

    Pemerintahan Mukim Aceh vakum, kenapa ini terjadi? Jangan kita menyalahkan siapa-saipa. Kenapa, karena saat ini Mukim hanya bertugas menghadiri acara seremonial saja. “Orang-orang hanya mengatakan kepada Yang Terhormat Imuem Mukim”, kata-kata ini keluar dari peutua-peutua Gampong. Kebetulan saya ada mengikuti acara dialog Mukim Se-Aceh dengan Gubernur Aceh dan Wakil Gubernur Aceh, pada Acara Diwina cakradonnya beberapa waktu lalu. Para Imuem Mukim melempar unek-uneknya kepada Peminpin Aceh, bahwa mereka tidak diperhatikan oleh pemerintah. Hanya Rp. 500 ribu gaji dibayar oleh Pemda, itupun baru beloh diambil 3 bulan sekali. Pemerintahan Mukim menjadi tidak terurus, padahal menjadi ujung tombak pemerintah.
    Mari memperjuangkan Pemerintahan Mukim berjalan seirama dengan pemerintah. Jangan ada anak tiri dalam pemerintah. Peran Mukim tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

    Salam,
    Bahagia Ishak

  4. Saleum Pak Ishak,

    Kalau begitu marilah sama-sama kita perkuat pemerintahan mukim, terutama legitimasi-nya.

    Perlu dilakukan sharing power atau berbagi kekuasaan antara Camat dan Imum Mukim. misalnya; mulai melimpahkan beberapa wewenang camat kepada para Imum Mukim, karena level Imum Mukim sebetulnya setara dengan Camat.

    Sharing power ini merupakan win-win solution, jika secara struktural posisi Camat tidak ingin dihapuskan pemerintah. kecuali pemerintah sepakat untuk mencabut posisi camat, artinya posisi imum mukim bisa menggantikan struktural Camat, dan berada langsung di bawah Bupati atau walikota.

    begitu pendapat saya,

    ::Goemay::

  5. Ping-balik: The Agreement of Maintaining Teunom DAS « Dewa Gumay

  6. integritas mukim juga mulai susut.. ini berjalan linear dengan nilai kapasitas, nilai keberanian, nilai kejujuran, keadilan dan nilai inspiratif yang dimiliki sang tokoh mukim. Nahhh…

  7. Salam Pak Gumay dan tetamu lainnya.

    Menurut hasil wawancara saya (dalam bentuk video) dengan beberapa tokoh
    dan masyarakat adat termasuk juga mantan mukim tahun 70an di kecamatan Krueng Sabee Aceh Jaya, dari sana saya mengetahui bahwasanya Imum mukim itu dulu di sebut sebagai Asisten Wedana atau sekarang asisten Bupati dan itu berarti seperti Camat sekarang ( lengkapnya ada di Video Dokumentasi planning mukim FFI Aceh Program, tempat dimana pak Gumay juga bekerja).

    Fungsinya tidak terbatas pada ihwal budaya dan adat-istiadat semata namun juga mencakup ihwal pemerintahan atawa fungsi birokrasi.

    Deddi Iswanto (deddi.iswanto@ipi-ipi.org)
    (mantan Mukim Planning media officer FFI Aceh program)
    sekarang Audio Visual Specialist IPI-Intepeace Aceh Program

  8. saleum..

    terima kasih sekali.. boleh dicopy kan..
    untuk bahan bacaan..

    hehehehhe

    irian

Tinggalkan Balasan ke taufik Batalkan balasan