Undang-Undang Kehutanan, Mandul

Oleh ; Dewa Gumay

JANGAN heran jika mendengar berita di media, cukong illegal logging di vonis bebas oleh pengadilan atau pelaku lapangan perambahan hutan dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara. Ditengah gencarnya departemen kehutanan dan pihak kepolisian melakukan berbagai operasi terpadu pemberantasan illegal logging semakin gencar pula para cukong kayu membabat hutan aceh. Apa yang menjadi akar persoalannya ? karena mandulnya instrumen hukum, khususnya UU 41/1999 tentang kehutanan yang tak mampu menjawab dan menjerat pelaku utama melainkan hanya menangkapi pelaku lapangan yang menjadi korban ketidakmapanan secara ekonomi.

Niat baik pemerintah dengan menggelar berbagai operasi terpadu pemberantasan illegal logging, justru tak lebih dari pelaksanaan project oriented kesepakatan dana utang dengan Consultative Group on Indonesia (CGI) tentang reformasi dibidang kehutanan, salah satu diantaranya adalah pemberantasan illegal logging, indikator project oriented ini dapat dilihat dari banyaknya pelaku lapangan yang ditangkap dibandingkan aktor utama dan para beking yang terlibat, dan titik lemahnya ada pada peraturan perundangan kehutanan.

Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sedikit mengalami kelemahan dalam membuktikan pelaku utama dan para beking dalam kasus illegal logging. Mengapa ? karena menurut UU Kehutanan, pelaku illegal logging adalah mereka yang dengan sengaja melakukan penebangan, membawa, menguasai, dan mengangkut kayu tanpa izin-izin yang sah. Semua aktifitas ini tidak pernah dilakukan oleh pelaku intelektual dan para beking illegal logging. Hal ini semua dilakukan oleh buruh tebang dan pemilik alat angkut, merekalah yang selalu dijerat hukum.

Keterlibatan Uni Eropa

Permasalahan utama gagalnya penegakan hukum illegal logging adalah terlalu digdayanya aktor intelektual illegal logging untuk ditembus hukum. Kekebalan pelaku illegal logging terhadap hukum dikarenakan keterkaitannya dengan institusi pemerintah dan oknum pejabat sipil maupun militer yang membekingi usahanya sehingga pelaku sangat sulit untuk dijerat dengan hukum.

Penyelundupan kayu dari Indonesia sebagian besar masuk ke negara-negara di Asia dan Eropa. Uni Eropa merupakan salah satu penerima utama kayu liar, namun telah gagal menerapkan kebijakan untuk menghentikannya. Tahun 1999, Uni Eropa mengimpor 10 juta meter kubik kayu dimana nyaris setengahnya berasal dari tiga negara – Indonesia, Brazil, dan Kamerun (Timber Traficking, TELAPAK/EIA, 2001). Tingginya tingkat penebangan liar di tiga negara tersebut, disinyalir setengah dari kayu yang diimpor ke Uni Eropa merupakan kayu liar, senilai US$ 1,5 miliar per tahun.

Dari negara anggota Uni Eropa, Inggris merupakan pengimpor kayu liar terbesar, tahun 1999 inggris mengimpor 1,6 juta meter kubik kayu, dimana 92 persennya berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Brazil. 60 persen kayu yang diimpor ke Inggris merupakan kayu liar senilai US$ 200 juta. Negara Inggris sendiri bertanggung jawab atas seperlima kayu tropis liar yang memasuki Uni Eropa (Timber Traficking, TELAPAK/EIA, 2001).

Negara berikutnya yang terlibat impor kayu illegal adalah Perancis, dimana setengah dari 900 ribu meter kubik impor tahunannya merupakan kayu liar, disusul Belgia, Jerman, dan Belanda. Perilaku konsumsi kayu Uni Eropa yang tidak mengindahkan asal-usul kayunya membuat mereka secara langsung bertanggung jawab atas kerusakan hutan di negara-negara tropis, terutama Indonesia. Konsumsi kayu tropis mereka setara dengan penebangan hutan seluas 700 ribu hektar setiap tahunnya.

Masuknya peredaran kayu illegal di Uni Eropa ini dapat dilihat dari laporan pemerintah Indonesia mengenai ekspor produk kayu yang dilakukan secara resmi, dimana terjadi ketidak sesuaian atau selisih antara kayu yang di kirim oleh Pemerintah Indonesia dengan kayu yang diterima oleh negara-negara Uni Eropa, proses ini dilakukan dengan cara mencuci kayu (timber laundry) disejumlah negara transit. Pasokan kayu tersebut tercatat pada daftar impor negara-negara konsumsi kayu namun tidak terlaporkan dalam data ekspor kayu di Indonesia.

Celah Hukum Perundangan

Setidaknya ada tiga instrumen perundangan yang mengakomodir dan mengatur sektor kehutanan, yaitu; UU 41/1999 tentang kehutanan, UU 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU 5/1992 tentang konservasi sumber daya alam.

Pasal 50 UU No.41/1999 menyebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan pelarangan yang terjadi pada pengelolaan sumber daya hutan antara lain; menebang tanpa izin, menebang dekat sumber air (waduk), menebang tidak sesuai izin, menebang dikawasan lindung dan taman nasional, membunuh satwa dan pohon yang dilindungi, menyelundupkan kayu, memproses kayu illegal, menyuap petugas kehutanan, gagal bayar dana reboisasi dan PSDH.

Pasal 15 dan pasal 18, UU No.23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mencatatkan hal yang berhubungan dengan pelarangan terhadap upaya-upaya perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Usaha-usaha yang berdampak besar kepada penghancuran lingkungan hidup tanpa memiliki analisa dampak lingkungan (pasal 15), tidak memiliki/memperoleh izin usaha (usaha-usaha yang berdampak besar terhadap LH) yang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundangan (pasal 18).

Pasal 19, 21, 22, dan 33, UU No. 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam juga mencatat pelarangan-pelarangan yakni; menebang tumbuhan yang dilindungi, kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi, zona inti dan zona lainnya dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, mengangkut kayu yang tidak sesuai dengan ketentuannya, menyimpan-memiliki dan atau memperdagangkan tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

Implementasi ketiga perangkat hukum ini belum efektif dan terkesan lemah dalam memberantas illegal logging, karena secara hukum undang-undang tersebut tidak mampu membuktikan pelaku utamanya. Justru yang seringa dijerat hukum adalah buruh penebang dan pemilik jasa angkutan yang dibayar oleh pelaku utama atau aktor intelektualnya.

Illegal logging tidak cukup ditekan hanya dengan cara mengikuti gerakan kayunya (log tracking audit dan certivication). Pengejaran pelaku illegal logging berdasarkan pergerakan kayu, hanya bisa menangkap pelaku-pelaku lapangan. Perlu adanya sejumlah terobosan hukum lainnya untuk menjerat dan menghukum pelaku utama illegal logging. Menurut Willem Pattinasary (Koordinator Indonesia Working Group on Forest Finance), Cara lain yang dapat dipakai adalah melakukan langkah pencegahan dari sisi keuangan dengan menelusuri aliran uang (follow the money).

Menggunakan UU PPATK

Indonesia sudah memiliki UU pencucian (UU No. 15/2002), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun dibentuk untuk menangani masalah pencucian uang di Indonesia. Selain polisi dan jaksa, PPATK akan bekerja sama dengan lembaga keuangan seperti perbankan, asuransi, pasar modal serta berbagai lembaga untuk mencegah dan memberantas pencucian uang yang terjadi di Indonesia.

UU Pencucian Uang telah direvisi menjadi UU No. 25/2003 dengan memasukkan sektor kehutanan ke dalamnya sebagai salah satu bidang yang memiliki risiko terjadinya pencucian uang. Jika dikaitkan dengan masalah illegal logging yang terjadi di Indonesia, masuknya bidang kehutanan memberikan alternatif dan terobosan baru dalam upaya memecah kebuntuan dalam memerangi illegal logging. (selesai).

Komentar ditutup.